Rabu, 07 Maret 2012

cara Menghadapi Teman yang frustasi

Belum lama ini, seorang sahabat yang menjadi pengajar matematika bersilaturahim ke kontrakan kami. Dalam kunjungannya, ada satu obrolan yang masih ada di pikiran saya. Ia menceritakan tentang siswa privatnya yang menunjukan gejala-gejala frustasi. Dalam belajar, siswanya selalu menunjukan sikap pesimis dan penuh keluhan. Suasana seperti ini terang membuat siswa tidak bisa berkonsentrasi dan pembelajaran tidak berjalan efektif.

Kemudian saya coba telusuri seperti apa karakter siswa yang dimaksud. Ia adalah seorang anak laki-laki yang saat ini duduk di kelas 9 SMP. Berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomi dan peduli dengan pendidikan si anak. Kalau ditanya semangat belajar, justru ia termasuk pembelajar yang bersemangat dan berkeinginan menguasai banyak ilmu. Lantas, dimana letak permasalahan yang menyebabkan si anak jadi frustasi?
Nah, jawaban teman saya cukup membuat terkejut. Bahwa yang membuat si anak frustasi adalah kepedulian orang tuanya. Karena teramat pedulinya orang tua kepada anak, maka dibuatlah target-target yang harus dicapai si anak. Apalagi si anak menginjak kelas 9 SMP. Tuntutan ketuntasan materi dalam bentuk angka makin ketara. Sikap seperti ini jelas menjadi beban bagi si anak. Belum lagi adanya omelan dan hukuman bila hasil belajar tidak mencapai target. Lengkaplah kegalauan si anak.
Teringat saya pada beberapa siswa yang pernah belajar bareng dulu. Agaknya pernah juga ada yang terbebani dengan sikap orang tua mereka. Terkadang kemampuan intelegensi mereka tidaklah buruk, namun nilai pelajarannya seringkali jelek.  Penyebabnya? Kurang lebih sama. Tentang ketatnya target yang diberikan orangtua.
Saat itu saya pernah mengajukan pertanyaan ke siswa, “Kamu besok mau sekolah dimana? Kuliah akan ambil jurusan apa?” Banyak yang menjawab, masuk sekolah favorit yang itu karena pendapat orang tua. Lebih-lebih untuk yang hendak berkuliah, jurusan dan masa depan mereka seperti sudah berada di tangan orang tua.
Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud mengajak para anak berontak kepada orang tua. Sekali lagi bukan. Tapi lebih mengajak para orang tua untuk merenung bersama tentang masa depan anak-anak kita. Apakah sejarah sekolah anggota keluarga jadi landasan utama dalam pemilihan sekolah anak kita berikutnya? Apakah juga sejarah kesuksesan anggota keluarga atau rekan kita menjadi alasan utama menjuruskan kuliah anak kita? Apakah kita yakin 100% anak kita mampu mencapai semuanya itu? Kalau justru menjadi beban bagi anak-anak kita, bagaimana?
Cukuplah beberapa anak yang sudah kami temui yang merasakannya. Tidak mudah bagi kami mendampingi belajar mereka. Terus dan terus memotivasi “kalian bisa” adalah yang biasa kami lakukan. Salah satu caranya, dengan memberikan soal-soal latihan yang mudah bagi mereka. Berharap tumbuh kepercayaan diri untuk terus belajar dan mencoba menjawab soal-soal latihan yang lebih sulit.
Sebenarnya, bersikap frustasi dan pesimis di awal ujian bukanlah perkara sederhana. Ini bisa menjadi sangat gawat jika terus terjadi pada kehidupan si anak. Karena bisa saja berujung pada “syndrom kekalahan” atau trauma presepsi. Semoga ada kesempatan bagi saya bisa berbagi tentang hal ini. Selamat mengajar dan mendidik!
kunjungi info lebih lanjut..
http://availpay.com/ref.php?page=act/ref&invcod=44272

blog keren loe...
kunjungi di link bawah ini..
http://multiplyfund.com/ref.php?page=act/ref&invcod=1471

Tidak ada komentar:

Posting Komentar